Saturday, 28 February 2015

Pasir Berbisik Gunung Bromo

Whispering Sand of Mountain Bromo
(Sebuah Keheningan Malam di Puncak Bromo)


Di bibir kawah Bromo

Menjiplak dari judul film yang dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo bersama Christine Hakim yang berjudul Pasir Berbisik. Akting film tersebut memang berlokasi di padang pasir gunung Bromo beberapa tahun silam. Namun apa yang menjadi tema cerita film tersebut, penulis tidak banyak mengetahui karena memang penulis belum pernah melihat filmnya Dian Sastro tersebut.


Landscape of Peak Bromo

Untuk blog ini penulis  memposting hasil dokumen-dokumen yang sudah lama berada di facebook penulis. Kali ini penulis menyuguhkan sebuah hasil perjalanan menuju Gunung Bromo setelah mengunjungi kota Pacitan beberapa tahun silam. Waktu berjalan berikutnya penulis mencoba mendaki ke puncak Gunung Bromo dengan kendaraan roda kesayangan GL Semar. Perjalanan begitu menanjak curam menuju kawasan Bromo. Diawali berangkat dari Sidoarjo menuju arah Pasuruan. Dari Sidoarjo perjalanan menuju lokasi ditempuh dalam waktu kira-kira 2,5 jam. Sesampainya di kota Pasuruan penulis bergerak lagi menuju daerah desa Tongas kami belok ke kanan disitu tertera plakat atau plank bertuliskan menuju Bromo. Maka beloklah saya ke arah Bromo. Start dari perbelokan tersebut jalan masih datar. Kira-kira kurang lebih seperempat jam jalan mulai menanjak sedikit demi sedikit hingga curamnya. Mendekati arah pertigaan situs Gajah Mada atau Mada Kadipura, motor tetap bergerak lurus menanjak menuju perbukitan bercampur pohon pinus. Kira-kira sudah mencapai waktu 2 jam lebih, penulis tiba di kawasan hotel Bromo dengan view Gunung Bromo pada pukul 19.30. Dengan memakai baju seadanya penulis sudah mulai terasa kedinginan walau sebelumnya masih berada di bawah kaki Gunung Bromo. Akhirnya sebelum naik ke kawasan Bromo, di perjalanan penulis membeli topi rajutan atau bahasa jawanya cupluk serta syal leher. Tiba saat tengah malam menjadi suatu yang sangat merisaukan sebab sore itu udara begitu kuat menggigil hingga menusuk tulang. Belum lagi badan sudah merasa kelelahan sepanjang perjalanan. Ditambah pula mata mulai mengantuk. "Wah ....... mau tidur dimana ini, bro?", Penulis bertanya ke rekan teknisi, Ucok namanya.


Place of Tribe Worship 

Mau sewa kamar mahal. Semalam bisa mencapai Rp. 300.000,- Akhirnya alih-alih sholat di mushola supaya diperbolehkan masuk areal vila, penulis dan rekan tidur di dalam mushola. Tetapi apa gerangan yang terjadi... ? Ternyata semakin malam semakin dingin menusuk tulang dari ujung kepala sampai ujung jari kaki. Tidurkah ...? Penulis tidak dapat tidur semalaman, juga rekan penulis, Ucok. Akhirnya, satu-satu jalan mengobati dinginnya malam itu hanyalah dengan menghangatkan tangan di atas tungku para penjual kopi sambil minum kopi karena penjual kopi lesehan tersedia di setiap tempat depan vila. Sembari minum kopi penulis juga mencoba menyapa orang sekitar termasuk yang penjual kopi. Dari pergumulan singkat dengan para penjual kopi ternyata mereka adalah orang suku Tengger yang berprofesi sebagai penjaja barang dagangan. Mereka sopan, ramah tidak banyak mencurigai para tamu yang datang ke kawasan.


Penulis bercengkarama bersama salah seorang suku Tengger
(with Tengger Tribe Man)

Suku Tengger yang ada di sekitar Gunung Bromo ternyata sudah modern. Mereka sangat ekstrovert (terbuka) kepada siapa pun. Termasuk kepada penulis yang dalam foto di atas cuman penulis lupa nama orang tersebut.

Cukup lama dirasa bergelut dengan dinginnya malam, saatnya tiba jelang pagi dengan remangnya suasana subuh. Panorama Puncak Bromo nampak terlihat. Semuanya menjadi lupa akan keheningan malam dan dinginnya Bromo. Satu per satu langkah matahari mulai menampakkan wajahnya hingga terik menyinari lokasi Gunung Bromo. Wonderful... !!!




Pura persembahyangan suku Tengger


Di bawah kaki Bromo juga terdapat pura tempat upacara penyembahan ke Hyang Widi yang mana acara tersebut sering dilaksanakan pada waktu atau musim Kasada




Balai pura

Dengan rasa sedikit gugup dan ragu-ragu penulis memberanikan diri menyusup ke dalam tempat pura tersebut. Semuanya sepi karena memang tidak ada acara penyembahan. Penulis berhasil merangsek ke atas dinding tembok pembatas pura karena semua pintu masuk terkunci rapat dan tidak ada penjaganya. Begitu teriknya akhirnya penulis keluar setelah berhasil mengabadikan tempat tersebut. Namun pasir berbisik Bromo memang begitu mengental dalam setiap jengkal langkah. Tebal dan saling beterbangan karena terkena seokan kaki para pendatang.





   Reang (aku) : bahasa tengger untuk aku laki-laki
 

1 comment: