Sejenak di Perbatasan Timor Leste : Oktober 2013
Bandara El Tari Kupang
“Tergerai pasir indah membentang sepanjang pantai Kupang. Lautnya begitu indah bertebarkan pasir putih. Sepanjang jalan menuju pantai banyak berdiri pohon lontar seakan-akan mengajak bercengkrama kepada penulis saat melintasinya. Di atas batu karang yang ramah semua menyapa seolah mengajak bicara dengan tiupan angin pantai yang sepoi-sepoi. Hanya ditemani oleh beberapa kera yang lalu lalang di tengah jalan seolah mereka mengikuti kita tiada bosan. Terlihat beberapa pejalan kaki yang lewat sesekali berhenti mengajak asik masyuk bercanda tawa ria. Pemandangan itu begitu indah dan mempesona. Sore itu panas tidak begitu terik membuat penulis berlama-lama menikmati eksotisme pantai Kupang”.
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Untaian tersebut merupakan luapan ketenangan jiwa penulis waktu sedang berada dalam tugas proyek salah satu bank nasional untuk membuka cabang di kota Kupang. Meskipun di bawah naungan tugas (tour of duty) penulis merasakan lebih dari pada itu. Eksotisme pantai Kupang melupakan semua tugas yang teremban walau selama kurang lebih 1 bulan lamanya penulis berada di sana. Semua seolah menyatu bersama alam pemandangan Kupang yang ramah. Penduduk mayoritas di Kupang adalah Kristiani. Namun siapa sangka keakraban seorang tukang ojek yang baru kenal begitu membekas hingga saat ini. Di bawah lantunan music Matt Monro penulis menorehkan tulisan ini untuk sekedar berbagi pengalaman kepada seluruh sahabat pembaca.
Kupang, sebuah kota yang tenang tanpa hingar bingar menyiratkan sebuah kedamaian. Pertama menginjakkan kaki di kota Kupang kami bertiga menginap di salah satu hotel dekat pasir putih Kupang. Nama hotelnya kebetulan penulis lupa apa nama hotel tersebut. Dari situ kenallah seorang tukang ojek. Nama orangnya pun penulis juga sudah lupa. Dengan teman ojek inilah hampIr 1 bulan kami dikenalkan daerah pelosok Kupang. Namun sebagai penugasan kami ditugaskan oleh pihak bank ditempatkan di desa Tarus dan Air Nona dan sekitarnya.
Sebuah kota yang baru berkembang, terlihat di sana sini banyak pembangunan dan perbaikan kota.
Hamparan kota Kupang di sisi laut nan indah
Grand Rock Hotel (on the rock hotel) di sisi laut Kota Kupang
Kota Kupang berada di atas lembah sehingga banyak jalan yang naik turun di dalam kota. Ditambah kota Kupang berada di pinggir laut. Sungguh pengalaman yang sangat menyenangkan. Tak ketinggalan pula penulis mengabadikan semua itu ke dalam suatu foto, walau tidak semua tempat terabadikan. Namun apa yang didapat merupakan kenangan yang tak terlupakan di timur jauh. Kenangan yang sampai saat ini tidak dapat penulis lupakan adalah begitu ramahnya orang-orang Kristiani yang ada di sana sampai-sampai penulis diperkenalkan hasil buminya dengan sarinya buah lontar yang dikenal dengan Gula Sabu. Konon dan keyakinan bahwa gula sabu itu bisa dijadikan obat diabetes. Gula sabu itu sendiri tidak mengalami kadaluwarsa dari sejak pertama pembuatannya. Dan gula sabu yang berkualitas baik adalah selain tahan lama juga tahan tidak rikerumuni semut. Semakin lama penyimpanan gula sabu akan semakin baik kualitasnya. Akhirnya pulang ke kampong halaman penulis dibawakan oleh salah seorang pendeta disana gula sabu 1 kaleng plastic. Luar biasa!
Semoga gambaran artikel ini memberikan alunan yang sama untuk ikut merasakan keindahan batas timur Indonesia. Penulis hanya terinspirasi oleh dokumentasi yang ada di facebook yang selama ini hanya foto-foto diam tanpa nama. Oleh karenanya penulis mencoba menuangkan dokumen yang telah ada ke dalam blogger penulis.
Sampai jumpa pada cerita petualangan lain.
No comments:
Post a Comment